Kembali ke artikel

Debat meningkat mengenai potensi akhir dominasi dolar

Senin, 29 September 2025
Dilaporkan oleh AI

Selama beberapa dekade, ekonom telah memprediksi penurunan dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia, tetapi pergeseran global baru-baru ini menyulut kembali diskusi tersebut. Analisis MarketWatch mengeksplorasi mengapa kali ini mungkin berbeda dari prediksi masa lalu. Meskipun peringatan yang terus-menerus, kekuatan dolar tetap bertahan di tengah alternatif yang terbatas.

Dolar AS telah berfungsi sebagai mata uang cadangan utama dunia sejak kesepakatan Bretton Woods di akhir Perang Dunia II, sebuah status yang telah mendukung kekuatan ekonomi Amerika selama hampir delapan dekade. Prediksi tentang kejatuhannya dimulai sejak awal 1960-an, semakin intens setelah Presiden Richard Nixon memutuskan hubungan dolar dengan emas pada 1971, mengakhiri standar emas. Ekonom seperti Paul Samuelson memperingatkan pada saat itu bahwa langkah ini bisa menandakan kematian mata uang tersebut, namun dolar bangkit kembali dengan kuat pada 1980-an di bawah suku bunga tinggi.

Selama bertahun-tahun, ramalan bencana serupa muncul berulang kali. Pada 1970-an, di tengah guncangan minyak dan inflasi, analis memprediksi keruntuhan. Krisis utang Amerika Latin pada 1980-an memicu lebih banyak pembicaraan tentang de-dolarisasi. Lebih baru ini, kehancuran keuangan 2008 dan munculnya mata uang kripto telah menambah ke koorus tersebut. Per 2023, utang publik AS melebihi 34 triliun dolar, mewakili lebih dari 120% PDB, yang menurut kritikus mengikis kepercayaan.

Apa yang membedakan momen saat ini, menurut Brett Arends di MarketWatch, adalah upaya terkoordinasi oleh ekonomi berkembang. Aliansi BRICS—Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan—telah berkembang dan secara aktif mengejar alternatif untuk perdagangan berbasis dolar. Pada KTT BRICS 2023 di Johannesburg, para pemimpin membahas mata uang bersama untuk transaksi, bertujuan mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan AS. Invasi Rusia ke Ukraina memicu sanksi yang mempercepat dorongan ini, dengan negara-negara seperti China dan India meningkatkan perdagangan bilateral dalam mata uang lokal.

"Orang-orang telah memprediksi akhir dolar selama dekade, tapi kali ini ada perubahan struktural nyata," tulis Arends, menunjuk pada penurunan bagian dolar dalam cadangan global. Bagian tersebut turun dari sekitar 70% pada 2000 menjadi sekitar 59% saat ini, menurut data Dana Moneter Internasional. Euro dan yuan China telah mendapatkan tanah, tapi tidak ada yang menyamai likuiditas atau stabilitas dolar. Fragmentasi zona euro dan kontrol modal China membatasi daya tarik mereka.

Meskipun tekanan ini, dolar tetap dominan dalam penetapan harga minyak, pembayaran SWIFT, dan utang internasional. Arends mencatat bahwa tidak ada alternatif yang layak muncul, karena bahkan negara-negara BRICS memegang triliunan dalam cadangan dolar. Hasil Treasury AS, yang melayang sekitar 4-5% pada 2023, terus menarik investor yang melarikan diri dari pengembalian lebih rendah di tempat lain.

Implikasinya mendalam: dolar yang lebih lemah bisa menaikkan biaya impor AS dan inflasi, sambil memperkuat ekspor. Bagi ekonomi global, itu mungkin mendiversifikasi perdagangan tapi berisiko ketidakstabilan tanpa transisi yang mulus. Seperti yang disimpulkan Arends, "Dolar tidak akan pergi ke mana-mana dalam waktu dekat, tapi percakapan telah berubah selamanya."

Static map of article location